Sabtu, 30 April 2011

KAITAN ANTARA KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INDONESIA, BAIK PEMBANGUNAN NASIONAL MAUPUN SEKTORAL

KAITAN ANTARA KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INDONESIA, BAIK PEMBANGUNAN NASIONAL MAUPUN PEMBANGUNAN SEKTORAL (DAERAH) DENGAN KEBIJAKAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

Krisis ekonomi berkepanjangan dan lambannya pemulihan ekonomi, menunjukkan kerapuhan fondasi ekonomi Indonesia yang selama ini dibangun. Praktek monopoli, konglomerasi dan ekonomi kapitalistik mematikan usaha-usaha ekonomi kerakyatan, memperluas kesenjangan ekonomi dan kecemburuan sosial. Kondisi ini semakin diperparah oleh budaya gemar berutang dan mempermanis istilah hutang luar negeri dengan bantuan luar negeri. Celakanya lagi hutang luar negeri/ bantuan luar negeri dari negara-negara donor, dan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia banyak yang dikorup oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Tingkat kebocoran ini cukup signifikan, menurut begawan ekonomi Prof. Sumitro Djojohadikusumo, mencapai 30% dari total anggaran pembangunan.

Pada dasawarsa 1990-an, jumlah hutang luar negeri Indonesia menempati peringkat ke-5 di antara negara dunia ketiga, setelah Meksiko, Brazil, India dan Argentina.  Akibat krisis ekonomi yang sangat parah ini, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan rasio stock hutang per GDP tertinggi di dunia, mengalahkan negara-negara yang selama ini terkenal sebagai pengutang terbesar, seperti Meksiko, Brazil dan Argentina.
Persoalan hutang luar negeri ini bila tidak diselesaikan dengan baik akan dapat menghambat pemulihan ekonomi dan menjatuhkan martabat bangsa Indonesia di mata dunia internasional.

Hutang Luar Negeri Dalam Perspektif Ekonomi Konvensional

Masalah hutang luar negeri sebagai sumber pembiayaan pembangunan (deficit budged) telah menjadi perdebatan klasik, baik dalam tataran teoritis maupun praktis. Dalam pemikiran Rostow, posisi hutang luar negeri dianggap sebagai the missing link dalam mata rantai pembangunan ekonomi. Dalam dunia praktis, hutang luar negeri merupakan vicious cyrcle dalam pembangunan, khususnya negara-negara berkembang. Tercatat beberapa kali dunia mengalami debt crisis yang hebat, misalnya tahun 1930-an, 1980-an, 1980-an dan 1990-an hingga saat ini. Penyelesaian hutang luar negeri masih merupakan  problematika yang kompleks dan rumit untuk dipecahkan.

Dalam penjelasan teori-teori konvensional, setidaknya terdapat dua teori yang dapat menjelaskan tentang urgensi hutang luar negeri bagi pembiayaan pembangunan. Teori pertama mengatakan bahwa hutang luar negeri, seperti halnya investasi asing, diperlukan untuk menutup saving gap dalam terminologi kelompok Neo-Klasik. Jadi dalam hal ini hutang luar negeri dibutuhkan karena domestic saving tidak mencukupi untuk pembiayaan pembangunan. Sebenarnya untuk menutup saving gap dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu debt creating flow dan non debt creating flow. DCF dapat berupa hutang bilateral maupun multilateral, sedang NDCF berupa penanaman dan penyertaan modal seperti Foreign Direct Investment (FDI), short term capital dan long term capital. Teori yang kedua menjelaskan fenomena hutang luar negeri dari sisi neraca pembayaran, dimana ia merupakan salah satu account pada neraca modal, yang berfungsi mengakomodasikan kepentingan neraca berjalan yang bersifat otonom. Jadi bila neraca berjalan mengalami defisit, maka akan dikompensasikan dengan hutang luar negeri dalam neraca modal. Dalam konteks ini hutang luar negeri dapat berfungsi sebagai gap filling, yaitu mengisi gap akibat defisit neraca berjalan.

Hutang luar negeri merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan yang sangat signifikan bagi negara berkembang. Namun demikian, hasil studi tentang dampak hutang terhadap pembangunan ekonomi menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Beberapa ilmuwan memperoleh kesimpulan bahwa hutang luar negeri justeru telah menimbulkan perlambatan pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara pengutang besar, sementara studi lain menyimpulkan sebaliknya-yaitu hutang luar negeri menjadi salah satu faktor yang secara signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi negara-negara pengutang.

Banyak negara sedang berkembang (NSB) yang kini telah masuk dalam perangkap hutang (debt trap), dan akhirnya hanyut dalam lingkaran ketergantungan hutang (debt overhang hypothesis). Dalam konteks argumentasi ini, patut dipertanyakan kembali relevansi dan urgensi hutang luar negeri dalam pembiayaan negara-negara berkembang.

Kondisi Hutang Luar Negeri Indonesia

Hingga tahun 1997, pembangunan di Indonesia selalu dipuji oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Bahkan dalam laporan Bank Dunia pada bulan Juni 1997, Indonesia mendapat predikat keajaiban atau negara yang pertumbuhannya ajaib. Sebelumnya jatuhnya Orde Baru, Bank Dunia selalu memuji prestasi pembangunan ekonomi Indonesia. Bahkan posisi Indonesia ditempatkan sebagai salah satu negara berkembang yang sukses pembangunan ekonominya, tanpa melihat proses pembangunan itu telah merusak dan menghabiskan sumber daya alam yang ada, dan melilitkan Indonesia pada hutang luar negeri yang sangat besar.

Satu hal penting yang dilupakan adalah bahwa semua keberhasilan itu dicapai dengan hutang, sehingga menjadi bumerang ketika Indonesia diterpa krisis pada tahun 1997. Seluruh bangunan ekonomi runtuh, perusahaan-perusahaan bangkrut, pengangguran meledak, kemisikinan meningkat, sementara beban hutang luar negeri semakin berat. Total hutang luar negeri sampai dengan Desember 1998 mencapai US$ 144, 021 milyar, terdiri atas hutang swasta US$ 83, 572 milyar (58,03%). Dengan total penduduk 202 juta jiwa, beban hutang perkapita mencapai US$ 703 pertahun. Artinya setiap bayi Indonesia yang lahir saat itu sudah memikul beban hutang sebesar US$ 303 atau sekitar Rp. 2.400.000,00 pertahun. Dalam laporan diskusi di harian Kompas, diperkirakan Indonesia baru akan dapat membayar lunas hutangnya setelah 50 tahun. Dengan asumsi jumlah total hutang luar negeri Indonesia pemerintah dan swasta sebesar US$ 140 milyar, untuk melunasinya, rakyat Indonesia harus bekerja 24 jam sehari dengan upah Rp. 10.000,00 selama 50 tahun.

Kemudian ditambah lagi dengan hutang swasta yang cukupsignifikan besarnya. Dari data yang tertulis dalam tabel 1 dapat dilihat bahwa memang benar Hutang Luar Negeri Swasta telah meningkat secara signifikan. Dalam tabel 1 tersebut dapat diamati tiga macam perbandingan antara HLN Swasta Pemerintah, meliputi (1) perbandingan angka, (2) perbandingan DR, dan (3) perbandingan pembayaran bunga, dari tahun 1993 sampai tahun 1999.

Tabel
Perbandingan Hutang, DSR, dan Pembayaran Bunga Antara Swasta dan Pemerintah, 1993/94-1999.
T
A
H
U
N
Hutang
(Juta Dollar AS)
DSR
(%)
Pembayaran Bunga
(Juta Dollar AS)
S
g
P
g
S/P
S
g
P
g
S/P
S
g
P
g
S/P
93/94
23080
-
60219
-
0.4
11.2
-
20.6
-
0.5
1273
-
3117
-
0.4
94/95
33700
46.0
67578
12.2
0.5
13.4
19.6
19.2
-6.8
0.7
2130
67.3
3421
9.8
0.6
95/96
55443
64.5
63512
-6.0
0.9
14.8
10.4
17.9
-6.8
0.8
2816
32.2
3450
0.8
0.8
96/97
71163
28.4
56281
-11.4
1.3
16.2
9.5
18
0.6
0.9
3238
15.0
3047
-11.7
1.1
97/98
80017
12.4
58001
3.1
1.4
39.4
143.2
11.4
-36.7
3.5
4485
38.5
2712
-11.0
1.7
1998
79419
-0.7
71468
23.2
1.1
46.4
17.8
11.5
0.9
4.0
5714
27.4
2953
8.9
1.9
1999
67372
-15.2
80725
13.0
0.8
45.9
-1.1
11.2
-2.6
4.1
5745
0.5
3522
19.3
1.6
Sumber: IMF

Hutang Luar Negeri Pemicu Krisis Ekonomi Indonesia

Perpindahan dari Orde Lama ke Orde Baru, sekaligus terjadi perubahan kebijakan. Kebijakan Orde Baru menonjolkan kebijakan pembangunan dimana dengan keterbatasan persediaan anggaran, pemerintah melakukan kebijakan meminjam dana ke luar negeri yang disebut hutang luar negeri. Sistem ekonomi pada masa Orde Baru sebenarnya dilakukan bukan berdasarkan sistem mekanisme pasar yang sehat dan betul-betul terbuka. Unsur perencanaan negara yang terpusat cukup menonjol sehingga pilihan-pilihan industri tidak berjalan berdasarkan signal-signal pasar, yang obyektif – rasional.  Perencanaan ekonomi tersentralisasi yang berkombinasi dengan jeratan kelompok kepentingan di lingkaran pusat kekuasaan dan elite pemerintahan telah menjadi pola (patern) utama dari desain kebijakan ekonomi.

Kebijakan hutang luar negeri, yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan ratusan bahkan ribuan proyek yang terlibat di dalamnya pasti tidak bisa terhindarkan sebagai sasaran rente ekonomi. Jadi, pembuat disain kebijakan ekonomi bagaikan menciptakan mobil dengan “pedal gas” yang dapat dipacu dengan cepat. Perumpamaan itu dapat terlihat dari rekayasa pertumbuhan ekonomi yang cepat berbasis hutang luar negeri dan dilanjutkan dengan ekploitasi sumber daya alam secara berlebihan untuk mengejar “setoran” hutang.

Namun demikian, teknokrat para pembuat rancangan kebijakan ekonomi tadi lupa membuat “rem” pengendali yang baik. Akhirnya ekonomi Indonesia betul-betul terperangkap hutang yang menggiring ke jurang krisis moneter dan kemudian menular ke dalam seluruh sistem ekonomi, yang sebenarnya rentan. Krisis multi dimensi lanjutannya telah menyebabkan ongkos sosial-politik yang tinggi. Bahkan biaya kemanusiaan yang terjadi juga sangat luar biasa mahal dan terpaksa harus dibayar oleh bangsa ini, yang tidak mungkin tertutupi oleh nilai tambah dari pertumbuhan ekonomi yang tercipta selama ini.

Sumber :
http://muhaiminkhair.wordpress.com/2010/04/29/masalah-hutang-luar-negeri-indonesia-dan-alternatif-solusinya-dalam-perspektif-kebijakan-ekonomi-makro-islam/
google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar